Sabtu, 30 Oktober 2010

PEMIKIRAN PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM

DI INDONESIA

BAB I

Pendahuluan

Membincangkan pendidikan berarti membincangkan masalah diri manusia sendiri sebagai makhluk Tuhan yang dipersiapkan untuk menjadi khalifah-Nya di muka bumi dalam kerangka mengabdi kepada-Nya. Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang dari sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi hidayah akal dan ilmu, maka itu merupakan proses panjang yang tidak berkesudahan sehingga siap untuk memikul amanat Tuhan dan tanggung jawab, sepanjang dunia masih ada. Oleh sebab itu problematika pendidikan Islam yang muncul selalu complicate serumit persoalan manusia itu sendiri.[1] Problem pendidikan Islam mulai pengertian pendidikan, tujuan, materi dan strategi pendidikan-pengajarannya hingga lembaga penyelenggara pendidikan Islam, yang muncul dari masa ke masa, dikaji dan dicari jawabannya selalu berkembang dan melahirkan pemikiran-penting seiring dengan perkembangan zaman, peradaban dan produk-produknya, khususnya hasil ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat berpengaruh bagi eksistensi dan peran pendidikan Islam di masyarakatnya.

Pendidikan Islam dan eksistensinya sebagai komponen pembangunan bangsa, khususnya di Indonesia, memainkan peran yang sangat besar dan ini berlangsung sejak jauh sebelum kemerdekaan Bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat praktik pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga pendidikan tradisional seperti majelis taklim. Forum pengajian, surau, masjid dan pesantren-pesantren yang berkembang subur dan eksis hingga sekarang. Bahkan setelah kemerdekaan penyelenggaraan pendidikan Islam semakin memperoleh pengakuan dan payung yuridisnya dengan adanya berbagai produk perundang-undangan tentang pendidikan nasional.

Namun meskipun demikian, Pendidikan Islam hingga kini boleh dikatakan masih saja berada dalam posisi problematik antara 'determinisme historis' dan 'realisme praktis'. Di satu sisi pendidikan Islam belum sepenuhnya bisa keluar dari idealisme kejayaan pemikiran dan peradaban Islam masa lampau yang hegomonik; sementara di sisi lain, ia juga 'dipaksa' untuk mau menerima tuntutan-tuntutan masa kini, khususnya yang datang dari Barat, dengan orientasi yang sangat praktis. Dalam dataran historis empiris, kenyataan tersebut acap kali menimbulkan dualisme dan polarisasi sistem pendidikan di tengah-tengah masyarakat muslim sehingga agenda transfomasi sosial yang digulirkan seakan berfungsi hanya sekedar 'tambal sulam' saja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila di satu sisi kita masih saja mendapatkan tampilan 'sistem pendidikan Islam' yang sangat tradisional karena tetap memakai 'baju lama'[2]

Berangkat dari uraian tersebut di atas, maka dalam makalah ini, penulis mengambil topik: "Pemikiran Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia"


BAB II

PEMBAHASAN

A. Permasalahan Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah umat manusia, hampir tidak ada sekelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat pembudayaan dan peningkatan kualitasnya, sekalipun dalam masyarakat yang masih terbelakang (primitif). Pendidikan sebagai usaha sadar yang dibutuhkan untuk menyiapkan untuk anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang dilakukan oleh suatu bangsa tentu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa di masa mendatang, karena pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia, bahkan M. Natsir menegaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan maju mundurnya kehidupan masyarakat tersebut.[3] Pernyataan M. Natsir di atas merupakan indikasi tentang urgensi pendidikan bagi kehidupan manusia, karena pendidikan itu sendiri mempunyai peranan sentral dalam mendorong individu dan masyarakat untuk meningkatkan kualitasnya dalam segala aspek kehidupan demi mencapai kemajuan, dan untuk menunjang perannya di masa mendatang. Hal ini terbukti dalam kehidupan sekarang, pendidikan tampil dengan daya pengaruh yang sangat besar dan menjadi variabel pokok masa depan manusia.

Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan. Hewan juga "belajar", tetapi lebih ditentukan oleh insting, sedangkan bagi manusia, belajar berarti rangkaian kegiatan menuju "pendewasaan" guna menuju kehidupan yang lebih berarti. Oleh karena itu berbagai pandangan yang menyatakan bahwa pendidikan itu merupakan proses budaya untuk mengangkat "harkat dan martabat" manusia dan berlangsung sepanjang hayat. Apabila demikian, maka pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan manusia, "karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudyaan dalam segala aspeknya dan jenis kepada generasi penerus" untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.

Untuk mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, negara, dan pemerintah, maka "pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis oleh para pengambil kebijakan yang berwenang di Negara ini". Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang sangat signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau pendidikan Agama Islam harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan. Tuntutan pembaharuan pendidikan menjadi suatu kaharusan dan "pembaruan" pendidikan selalu mengikuti dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, baik pada konsep, kurikulum, proses, fungsi, tujuan, manajemen lembaga-lembaga pendidikan, dan sumber daya pengelola pendidikan.

B. Pembaharuan Pendidikan Islam

Gagasan pemikiran pembaruan atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, seperti apa yang dikemukakan di atas, sangat "berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisme Islam di kawasan ini". Apabila mengamati gagasan modernisasi Islam pada awal abad 20 pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda dan kehadiran organisasi-organisasi modernis Islam, seperti Jami'at Khair, Al-Irsyad, Muhammadiyah, dan lain-lain, sebagai pelopor modernis, walaupun pada awal perkembangan organisasi-organisasi ini mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern secara hampir menyeluruh. Artinya, titik tolak modernisme pendidikan Islam di sini adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (Belanda) bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam Tradisional.[4]

Dalam mencermati konsep pembaruan pendidikan Islam di atas, Jusuf Amir Faisal dalam bukunya "Reorientasi Pendidikan Islam" menyebutkan bahwa "pembaruan pendidikan merupakan suatu usaha multidimensional yang kompleks, dan tidak hanya bertujuan untuk menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang dirasakan, tetapi terutama merupakan suatu usaha penelaahan kembali atas aspek-aspek sistem pendidikan yang berorientasi pada rumusan tujuan yang baru", dan selalu berorientasi pada perubahan masyarakat.[5] Upaya pembaruan pendidikan tidak akan memiliki ujung akhir sampai kapan pun. Mengapa demikian, karena persoalan pendidikan selalu saja ada selama peradaban dan kehidupan manusia itu sendiri masih ada, pembaruan pendidikan diakhiri, apalagi dalam abad informasi seperti saat ini, tingkat obselescence dari program pendidikan sangat tinggi. Tetapi, yang lebih penting lagi dalam upaya pembaruan ialah keikutsertaan dan didukung secara mental kemampuan profesional pengelola pendidikan, dan para pengelola perlu memiliki semacam a common mission pada setiap upaya pembaruan pedidikan dan agar upaya pembaruan menjadi lebih efektif. Selain itu, juga perlu menyadari terhadap adanya misi umum yang ingin dicapai oleh pembaruan itu dan indikator adanya kesadaran terhadap common mission suatu pembaruan.

Pembaruan pendidikan terjadi karena adanya tantangan kebutuhan masyarakat pada saat itu dan pendidikan itu sendiri diharapkan dapat menyiapkan produk manusia yang mampu mengatasi kebutuhan masayarakat tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan lebih bersifat konservatif. Misalnya, pada masyarakat agraris pendidikan di desain agar relevan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, begitu juga apabila perubahan masyarakat menjadi masyarakat industrial dan informasi, pendidikan juga di desain mengikuti irama perkembangan masyarakat industri dan informasi dan seterusnya.

Sebagaimana kondisi pendidikan di Indonesia, kondisi pendidikan Islam di Indonesia pun menghadapi berbagai persoalan dan kesenjangan dalam berbagai aspek yang lebih kompleks, yaitu: berupa persoalan dikotomi pendidikan, kurikulum, tujuan, sumber daya, serta manajemen pendidikan Islam. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Usaha pembaruan dan peningkatan pendidikan Islam sering bersifat sepotong-sepotong atau tidak komprehensif dan menyeluruh serta sebagian besar sistem dan lembaga pendidikan Islam belum dikelola secara profesional. Usaha pembaruan pendidikan Islam secara mendasar selalu dihambat berbagai masalah, mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli, sehingga "Pendidikan Islam dewasa ini terlihat orientasinya yang semakin kurang jelas". Dengan kenyataan ini maka sebenarnya "sistem pendidikan Islam haruslah senantiasa mengorientasi diri untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul dalam masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perubahan".

Pada saat ini, pemerintah telah memiliki 7 poin arah kebijakan program pendidikan nasional, yaitu; 1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi, 2) meningkatkan kemampuan akademik dan profesional, 3) melakukan pembaruan sistem pendidikan termasuk kurikulum, 4) memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah, 5) melakukan pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan Nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen, 6) meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik masyarakat maupun pemerintah, dan 7) mengembangkan kualitas SDM sedini mungkin secara terarah. Dengan ketujuh strategi ini, sebenarnya dapat meyakinkan bahwa pendidikan nasional dan pendidikan Islam kita secara makro cukup menjanjikan bagi penyediaan SDM yang benar-benar memililki unggulan kompetitif. Tetapi apabila melihat kenyataan kondisi pendidikan sekarang, ada dua alasan pokok yang perlu dilakukan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, yaitu: pertama, konsepsi dan praktik pendidikan Islam sebagaimana tercermin pada kelembagaannya dan isi programnya didasarkan pada konsep atau pengertian pendidikan Islam yang sempit yang terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, kedua, lembaga-lembaga dan isi pendidikan Islam yang dikenal sekarang ini, seperti madrasah dan pesantren tidak atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern. Terutama masyarakat dan bangsa Indonesia bagi pembangunan di segala bidang di masa sekarang dan di masa yang akan datang.

Untuk menghadapi dan membangun masyarakat madani di Indonesia diperlukan usaha pembaruan pendidikan Islam secara mendasar, yaitu 1) perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia, terutama pada fitrah atau potensi, 2) pendidikan Islam harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena dalam pandangan Islam bahwa Ilmu pengetahuan adalah satu yaitu berasal dari Allah SWT, 3) pendidikan di desain menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, 4) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, 5) pendidikan yang menumbuhkan etos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur, 6) pendidikan Islam perlu di desain untuk mampu menjawab tantangan masyarakat untuk menuju masyarakat madani serta lentur terhadap perubahan zaman dan masyarakat.

Dari pembahasan di atas, ada beberapa indikator sebagai usaha pembaruan pendidikan Islam, yaitu: setting pendidikan, lingkungan pendidikan, karekteristik tujuan. Perlu diketahui bahwa suatu usaha pembaruan pendidikan terarah dengan baik apabila didasarkan pada kerangka dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan hanya dapat dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungannya dengan lingkungan, alam semesta, akhiratnya, dan hubungannya dengan Maha Pencipta, sedangkan teori pendidikan dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara pendekatan filosofis dan pendekatan empiris.

Dengan demikian, kerangka dasar pertama pembaruan pendidikan Islam adalah "konsepsi filosofis" dan "teori pendidikan" yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang hubungannya dengan masyarakat lingkungan dan ajaran Islam.

Langkah awal yang dilakukan dalam mengadakan perubahan pendidikan adalah merumuskan "kerangka dasar filosofis pendidikan" yang sesuai dengan ajara Islam, kemudian mengembangkan secara "empiris prinsip-prinsip" yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan (sosial dan kultural) tanpa kerangka dasar "filosofis" dan 'teoritis" yang kuat, maka pembaruan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti. Kemudian langkah selanjutnya adalah mengembangkan kerangka dasar sistemik, yaitu kerangka dasar filosofis dan teoritis pendidikan Islam harus ditempatkan dalam konteks supra - sistem masyarakat, bangsa dan negara serta kepentingan umat di mana pendidikan itu diterapkan. Apabila terlepas dari konteks ini, pendidikan akan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia dalam menghadapi tuntutan perubahan menuju "masyarakat madani" Indoensia.

Untuk mengakhiri pembahasan ini, mengutip Johar dalam bukunya Pengembangang Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan" menyatakan bahwa pendidikan harus berdasarkan paradigma kebangsaan yang religius. Artinya kepemilahaan kita dalam melaksanakan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang religius. Konsekuensi dari itu maka pendidikan kita harus harus dilaksanakan dengan cara:

1. Pendidikan untuk membangun integritas ilmu dan agama

2. Pendidikan kita dilaksanakan dengan Iqra', mengkaji ciptaan Tuhan utuk memperoleh ilmu Tuhan

3. Pendidikan kita dilaksanakan untuk mengamalkan ajaran Tuhan

4. Pendidikan kita dilaksanakan dengan misi tugas hidup di bumi sebagai wakil Tuhan

5. Pendidikan kita seharusnya mengkaji realita

6. Pendidikan harus mampu membangun tauhid vertikal dan tauhid sosial

7. Harus mampu membangun tauhid vertikal, yang mengaku Tidak Ada Tuhan Selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pemikiran pembaruan pendidikan Islam di Indonesia adalah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat melalui pembaruan pada sistem dan penyelenggaraan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem pendidikan Islam di masa kini dan masa yang akan datang perlu dipikirkan dan dibicarakan sebab-sebab permasalahannya, antara lain: Pertama, bahwa penyelenggaraan pendidikan Islam secara formal/ informal belum sesuai dengan pengertian pendidikan Islam itu sendiri; Kedua, bahwa sistem dan metode itu masih dalam lingkaran pendakalan (proses de islamisasi).

Adapun pembaharuan pendidikan Islam meliputi: adanya perubahan dari sistem ke sistem madrasah; adanya perubahan dari sistem ke sistem sekolah Islam; dan adanya kewajiban mempelajari agama Islam, di sekolah-sekolah umum sesuai dengan Undang-undang sistem pendidikan Nasional.


DAFTAR PUSTAKA

Arifi, Ahmad, 2009, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras.

Arief, Armani, 2005, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press.

Natsir, M., 1973, Kapita Selekta, Jakarta: Bulan Bintang,

Sanaky, Hujair AH., 2003. Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: Safiria Insania Press,

Faisal, Jusuf Amir, 1995, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Gema Insani,

Djohar, 2006, Pengembangang Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, Yogyakarta: Grafika Indah.



[1]Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam Di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 1.

[2]Untuk menelusuri bagaimana penyebaran Ilmu dalam Islam di masa klasik, mengutip pendapat Armani Arief mengatakan bahwa penting melihat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul sejak kehadiran Islam itu sendiri yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta peran yang dimainkannya dalam transmisi ilmu, seperti lembaga kuttab (lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan baca tulis), masjid, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya seperti Bayt al-Hikmah, dan Halaqah. Lihat Armani Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 110-112.

[3]M. Natsir, Kapita Selekta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 77.

[4]Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003), hlm. 5.

[5]Jusuf Amir Faisal,Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 65.

BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

KEADILAN SAHABAT

A. Pengertian Sahabat

Secara etimologi sahabat berasal dari kata Ash-Shuhabah (Persahabatan), yang tidak mengandung pengertian persahabatan dalam ukuran tertentu, tetapi berlaku untuk orang yang menyertai orang lain, sedikit ataupun banyak.

Sedangkan pengertian sahabat menurut Ulama Hadits adalah setiap Muslim yang pernah melihat Rasulullah Saw. Imam bukhari dalam kitab shahihnya mengatakan, diantara kaum Muslimin yang pernah menyertai Nabi Muhammad Saw atau pernah melihat beliau termasuk sahabat beliau. Setiap orang yang pernah menyertai beliau selama satu tahun atau beberapa bulan atau sehari atau satu jam atau sekedar pernah melihat beliau termasuk sahabat. Ia memeliki status sahabat sesuai dengan kadar kesertaaan yang dilakukannya, dan sebelumnya pernah bersama, mendengar dari dan memperhatikan beliau.

Ibn Hazm rahimakumullah berkata, adapun yang dimaksud sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasah dengan Nabi SAW, meskipun hanya sesaat, mendengar dari beliau meski hanya satu kata, menyaksikan beliau menangani suatu masalah dan tidak termasuk orang-orang munafik yang kemunafikanny berlanjut sampai popular dan meninggal dalam keadaan seperti itu. Orang yang memiliki cirri-ciri seperti yang telah disebutkan berarti merupakan sahabat. Seluruh mereka bersifat adil, imam yang utama lagi direstui. Kita diwajibkan menghormati dan mengagungkan mereka, serta salalu memintakan ampun dan mencintai mereka.

Ibn Hajar mengatakan, defenisi yang paling shahih tentang shahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan beriman pula.

Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafii berkata, sahabat adalah orang yang temu dengan rasulullah saw, beriman kepada beliau dan meninggal dunia dalam keadaan Islam. Menurut Ibnu Hajar ada beberapa criteria sahabat yang meliputi, antara lain :

1. Bertemu Rasulullah saw

2. Menerima dakwahnya dalam waktu lama maupun sebentar

3. Meriwayatkan hadits dari beliau ataupun tidak meriwayatkannya.

4. Ikut berbaiat pada beliau atau tidak ikut serta dalam baiat beliau

5. Sempat melihat beliau walaupun tidak pernah duduk menemani atau tidak pernah melihat beliau seperti sebab tertentu.

B. Tingkatan Sahabat

Para pakar hadits menyebutkan setiap orang yang pernah melihat nabi Saw adalah seorang sahabat. Mereka beralasan bahwa itu karena kemuliaan posisi nabi Saw. Hanya saja, sahabat itu bertingkat-tingkat. Ada yang tergolong “As-Sabiqun” dalam Islam yang sangat lama bersama dengan Nabi Saw dan mengorbankan harta dan darah mereka demi dakwah Islam. Ada juga yang hanya sekali melihat Nabi Saw, yaitu pada kesempatan haji Wada’. Diantara mereka yang disebut pertama dan mereka yang disebut terdapat banyak tingkatan. Ada juga sahabat yang senantiasa berasama Nabi saw, siang dan malam, saat berada dirumah maupun saat bepergian, saat puasa maupun saat ibadah beliau, serta mengetahui banyak amal yang pelik dan sunah-sunah mulia.

Bagaimana bisa dianggap logis bila semua sahabat berada dalam satu tingkatan. Ini jelas tidak bisa dibayangkan menurut kacaman neraca keadilan dan logika. Oleh sebab itu sangat benar apabila dikatakan sahabat bertingkat-tingkat, serta disepakati oleh para ulama atas tingkatan para sahabat tersebut.

Adapun tingkatan sahabat yang sangat populer adalah menurut pendapat Al-Hakim antara lain :

1. Mereka yang mula-mula masuk Islam, seperti keempat khalifah.

2. Mereka yang msuk Islam sebelum musyawarah ahli Makkah di Daran-Nadwah.

3. Mereka yang berhijrah ke Habasyah.

4. Mereka yang mengikuti al-Aqabah al-Ula

5. Mereka yang mengikuti al-Aqabah al-Tsaniah, yang mayoritas adalah kaum Anshar.

6. Kaum Muhajirin yang mula-mula bertemu dengan Nabi SAW di Quba sebelum mereka memasuki Madinah.

7. Ahli Badar

8. Mereka yang berhijrah di antara Badar dan Al-Hudaibiyyah.

9. Para peserta Bai’at ar-Ridhwan di Hudaibiyyah

10. Mereka yang berhijrah antara Hudaibiyyah dan Fath Makkah, seperti Khalid Ibn Al-Walid, Ibn Al-Ash dan Abu Hurairah.

11. Orang-orang yangmasuk Islam saat Fath Makkah.

12. Kalangan anak-anak yang menyaksikan Nabi Saw, saat Fath Makkah, haji Wada’ dan lain-lain.

Ahlus Sunnah sependapat bahwa sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar, lalu Umar. Tak seorang sahabat maupun tabi’in yang berbeda pendapat mengenai keutamaan mereka atas sahabat-sahabat yang lain. Setelah itu Ustman bin Affan, lalu Ali.

C. Sifat Adil Sahabat

Yang dimaksud dengan adilnya seorang sahabat ialah sebagaimana yang dimaksudkan dalam arti keadilan sahabat itu sendiri yakni setiap orang yang sezaman dengan rasulullah saw, dilahirkan pada zaman rasulullah, tidak pernah berdusta atau menipu.

Kesahabatan merupakan status mulia yang memberikan keistimewaan kepada pemiliknya, yaitu bahwa seluruh shahabat menurut Ahlus Sunnah bersifat Adil, baik baik ynagmengalami masa terjadinya fitnah maupun tidak. Ini merupakan mayoritas pendapat para ulama’.

Ada yang mengatakan, mereka senantiasa bersifat Adil, sampai terjadinya silang pendapat dan pertikaian diantara mereka. Maka setelahitu, keadilan mereka harus diteliti.

Ibn Hazm mengatakan bahwa sahabat Rasul Saw sampai Bai’ah ar-Ridhawan pada perang Hudaibiyyah semuanya merupakan penghuni surge. Tentu saja ini berdasarkan teks-teks Al-Quran dan as-Sunnah. Adapun ornag-orang sesudah mereka,maka belum bisa dipastikan sebagai penghuni surge.

Syarih Muslim Al-Tsabut mengatakan bahwa keadilan para sahabat adalah sesuatuyang pasti, lebih-lebih bagi para peserta perang Badar dan Bai’ah ar-Ridhawan.

Berkenaan dengan sahabat ada yang menunjukkan mereka harus dinilai adil dan berada pada puncak ketsiqahan dan keterpercayaan. Allah swt dan Rasul-Nya telah men-tazkiyahkan mereka. Umat Islam juga menerima hal itu secara bulat.

1. Dalil-Dalil Sifat Adil Sahabat dari Al-Quran.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Fath yang berbunyi :

Ó£JptC ãAqߧ «!$# 4 tûïÏ%©!$#ur ÿ¼çmyètB âä!#£Ï©r& n?tã Í$¤ÿä3ø9$# âä!$uHxqâ öNæhuZ÷t/ ( öNßg1ts? $Yè©.â #Y£Úß tbqäótGö6tƒ WxôÒsù z`ÏiB «!$# $ZRºuqôÊÍur ( öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ̍rOr& ÏŠqàf¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ öNßgè=sVtB Îû Ïp1uöq­G9$# 4 ö/àSè=sVtBur Îû È@ŠÅgUM}$# ?íötx. ylt÷zr& ¼çmt«ôÜx© ¼çnuy$t«sù xán=øótGó$$sù 3uqtFó$$sù 4n?tã ¾ÏmÏ%qß Ü=Éf÷èムtí#§9$# xáŠÉóuÏ9 ãNÍkÍ5 u$¤ÿä3ø9$# 3 ytãur ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# Nåk÷]ÏB ZotÏÿøó¨B #·ô_r&ur $JJÏàtã ÇËÒÈ

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Dalam surat yang lian yaitu surat At-Taubah ayat 100, Allah SWT berfirman :

šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûï̍Éf»ygßJø9$# Í$|ÁRF{$#ur tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ šÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã £tãr&ur öNçlm; ;M»¨Zy_ ̍ôfs? $ygtFøtrB ㍻yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkŽÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºsŒ ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÉÉÈ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.

Itulah beberapa ayat yang memberikan kesaksian akan keutamaan dan posisi seluruh sahabat yang berada bersama Rasulullah SAW. Sejak awal dakwah beliau sampai perang Hudaibiyyah. Masih banyak ayat-ayat lain yang menyebutkan keutamaan mereka dalam berbagai kesempatan, seperti jihad dan berbagai perperangan.

2. Dalil-Dalil Keadilan Sahabat Dari Sunnah

Dari sekelompok hadits shahaih terdapat banyak hadits yang memberikan kesaksian akan keutamaan sahabat, baik secara global maupun per individu. Dan dalam sebagaian kitab Hadits seperti sahih bukhari, Al-Jami’, Ass-Shahih milik Imam Muslim, As-Sunan Al-Arabiah dan lain-lain terdapat BAB-Bab kehusus tentang keutamaan sahabat.

Sebagai contoh yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy, katanya Rasulullah Saw bersabda :

Janganlah kalian mencaci salah seorang diantara shahabatku. Karena salah seorang diantara kalian, senadainya mengainfaqkan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan dapat menyamai satu mud (Yang dinafkahkan) oleh salah seorang diantara mereka dan tidak pula separuhnya.

Diakhir pembicaraan tentang keadilan shahabat, saya mengutip pernyataan Abu Zur’ah ar-Raziy : “jika kamu melihat seseorang yang mencari salah seorang sahahabat, maka ketahuilah bahwa oran itu zindiq. Hal ini karena Rasul SAW benar, Al-quran benar. Dana apa yang beliau bawa juga benar. Semua itu dibawa kepada kita agar mereka bias menggoyahkan Al-Quran dan As-SUnnah. Karena itu, sebaiknya orang-ornag zindiq itulah yang terjarh.

Sifat adil para sahabat sudah tertanam kokoh dalam jiwa mereka masing-masing sebab pada awalnya Islam telah tertancap kokoh dihati mereka yang memeluk dan mengikuti petunjuknya. Sampai-sampai kit abisa menyaksikan bahwa mereka yang terlanjur berbuat dosa besar secara sadar meminta dihukum untuk membersihkan jiwa mereka dan bergegas bertaubat kepada Allah swt. Maka dari itu sahabat seluruhnya bersifat adil. Keadilan mereka tidak perlu diteliti ulang selama tidak ada kritik untuk mereka.

D. Jumlah Sahabat

Menghitung sahabat jelas sangat sulit. Karena mereka berada di berbagai negeri dan kawasan. Disamping itu, terlalu besarnya jumlah mereka tidak memungkinkan mereka dihitung. Ulama yang melakukan penghitungan, semata berdasarkan perkiraan. Imam Bukhari didalam shahihnya meriwayatkan bahwa ka’b ibn Malik berkenan dengan kisah keterlambatannya dari perang Tabuk berkata : sahabat Rasulullah saw sangat banyak, sehingga tidak mungkin bis adimuat di dalam buku.

Namun demikian, kita bias saja mengitung jumlah mereka berdasarkan kurang lebih, dari riwayat-riwayat sebagian sahabat dan tabi’in tentang jumlah mereka ketika terjadi masing-masing peperangan ataupun peristiwa penting.

Dari IBN ABbas diriwayatkan, bahwa ia berkata : Rasulullah saw keluar pada tanggal sepuluh Ramadhan. Beliau berpuasa dan orang-orang pun berpuasa. Kemudian sesampai mereka di sumber air Al-Kalid beliau membatalkan puasa. Kemudian beliau m elanjutkan bersama sepuluh ribu kaum muslimin, sampai dijalur Shirar. Dan hal itu terjadi pada Fath Makkah.

Turut serta pada haji Wada’ yang dilakukan Rasulullah saw sekitar sembilan puluh ribu kaum muslimin.

Dari sini jelaslah, bahwa sahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah saw sangat banyak. Mereka telah membawa sejumlah besar data-data keagamaan yang sangat bermanfaat. Jumlah hadits yang mereka bawa berbeda-beda, tergantung kadar kebersamaan dan kondisi masing-masing.

E. Sahabat Yang Banyak Meriwayatkan Hadits

Sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw ada tujuh orang, yaitu :

1. Abu Hurairah, Abdurrahman ibn Shakhr ad Dausiy al Yamaniy ra yang lahir tahun 19 SH dan wafat tahun 56 H. jumlah hadits yang diriwayatkannya 5374 buah hadits.

2. Abdullah Ibn Umar ibn al Khaththab ra yang lahir tahun 10 SH dan wafat tahun73 H. jumlah haditsnya 2630 hadits.

3. Anas ibn Malik ra yang lahir tahun10 SH dan wafat tahun 93 H. jumlah haditsnya 2286 buah hadits.

4. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ummul Mukminin yang lahir tahun 9 SH dan wafat tahun 58 H (dan ada yang mengatakan tahun 57H). jumlah haditsnya 2210 bauh hadits.

5. Abdullah ibn Abbas Ibn Abdul Muththalib yang lahir tahun 3 SH dan wafat tahun 68 H. jumlah haditsnya 1660 buah hadits.

6. Jabir Ibn Abdillah al ANshari yang lahir tahun 6 SH dan wafat tahun 78 H. jumlah haditsnya 1540 buah hadits.

7. Abu Said al Khudriy : Sa’d ibn Malik ibn Sinan al Anshariy yang lahir tahun 12 SH dan wafat tahun 74 H. jumlah haditsnya 1170 buah hadits.



BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Kata Penutup

DAFTAR PUSTAKA