Jumat, 11 Maret 2011

Substansi Maulid Nabi Muhammad Saw

MEMAKNAI SUBSTANSI PERINGATAN MAULID NABI

Perayaan keagamaan bisa dikategorikan sebagai “bid’ah”, yaitu sesuatu yang tidak pernah diadakan dan dilakukan oleh Nabi Saw. semasa hidupnya. Hanya saja, karena kegiatan seperti ini memiliki maksud yang baik agar bisa memberikan efek positif bagi yang memperingatinya, terutama umat Islam, maka itu bisa diklasifikasikan ke dalam “bid’ah hasanah”.

Begitu juga halnya dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, yaitu peringatan hari kelahiran beliau yang tepat jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal (kurang lebih) 15 Abad yang lalu. Peringatan Maulid baru diselenggarakan ratusan tahun setelah beliau wafat. Ada beberapa versi mengenai awal mula diselenggarakannya perayaan ini. Namun, pendapat yang paling masyhur digagas pertama kali oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1137-1193).

Awal mulanya, bala tentara Shalahuddin mengalami putus asa menghadapi tentara Nashrani dalam beberapa peperangan (Perang Salib). Lalu, Sultan memerintahkan kepada para ulama agar memberi semangat kepada umat Islam pada hari-hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, dengan cara pidato-pidato tentang perjuangan beliau. Hasilnya, semangat juang umat Islam pun bangkit sehingga bisa meraih kemenangan dalam berbagai medan perang.

Berangkat dari latar belakang seperti itulah, para ulama kemudian menjadikan peringatan Maulid Nabi Saw. sebagai tradisi dan tentu sangat baik bila kita mengikutinya. Hanya saja, peringatan yang kita lakukan sejatinya tidak bergeser dari semangat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, yakni mengobarkan semangat juang umat Islam (jihad). Dan, jihad yang dimaksud di sini dan kini bukan lagi secara fisik di medan perang, seperti saat Perang Salib, melainkan secara ruhaniah (jihad an-nafs) dalam bentuk lain. Kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, sikap emosional, dan berbagai perilaku yang menyimpang dari ajaran Rasulullah Saw. merupakan obyek jihad sekaligus musuh-musuh kita sekarang. Semuanya itu justru lebih banyak lahir karena kita kurang meneladani Nabi Muhammad Saw.

Berkaitan dengan itu, masih hangat di telinga kita adalah kasus Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Banten dan Kekerasan atas Kasus Penistaan Agama di Temanggung, yang memprihatinkan dan menciderai kemurnian agama yang sejatinya harus kita jaga. Terhadap sekte Ahmadiyah dan pelaku penistaan agama, sebagian umat Islam bersikap reaktif dengan penuh emosi dan kemarahan terhadapnya sehingga terjadi kekerasan yang tidak kita harapkan. Sikap tersebut bisa jadi merupakan apresiasi komitmen dan loyalitas keberagamaan kita, yang memang belum luntur bahkan mungkin semakin bertambah. Namun demikian, akan lebih baik bila wujud kecintaan tersebut disertai dengan meneladani perilaku beliau yang mulia (akhlâq al-karîmah) itu dalam kehidupan sehari-hari. Sejujurnya harus diakui bahwa perilaku kita masih jauh dari teladan beliau. Nah, bagaimanakah memaknai peringatan Maulid berbarengan dengan adanya kasus Kekerasan Sosial Atas Nama Agama yang terjadi beberapa waktu terakhir ini?

Menimang Kasus
Ada beberapa kemungkinan yang mendasari munculnya kekerasan sosial atas nama agama (Islam) itu, yaitu: Pertama, kesengajaan dari kelompok tertentu untuk memancing kemarahan sehingga umat Islam disibukkan dengan sikap reaktif dan lupa terhadap persoalan dasar yang mereka hadapi. Ada rencana tersembunyi (hidden agenda) yang melatari kasus itu terjadi, yang kita belum tahu arahnya ke mana.

Kedua, ketidakarifan sebagian masyakarat bawah menyikapi perbedaan pemahaman atau penyimpangan agama yang dilakukan sebagian lainnya. Menguatnya puritanisme yang kurang menghargai perbedaan dan menggunakan pendekatan yang cenderung keras (radikal), yang ketepatan dimotori dan dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim tertentu, menjadikan citra Islam yang ramah dan penuh kedamaian terkotori bukan hanya di mata masyarakat lokal tapi juga masyarakat internasional.

Kedua, peran aparat hukum dalam mengantisipasi gejala-gejala sosial yang mengarah pada tindakan anarkhis adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dalam hampir semua konteksnya. Ketidaksigapan aparat seringkali menjadi alasan ketidaksabaran masyarakat bawah dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di atas.

Terlepas dari motif yang melatarbelakanginya, umat Islam sepantasnya tidak perlu bertindak radikal terhadap kasus-kasus penyimpangan agama. Sebab, tindak kekerasan hanya menghabiskan energi dan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Alih-alih menyelesaikan, justru hal itu bisa memunculkan persoalan baru yang lebih serius.

Dalam menghadapi persoalan semacam itu, umat Islam perlu lebih mengedepankan sikap konstruktif dan mengedepankan kedamaian. Mereka semestinya perlu menyadari, citra Islam yang semakin terpuruk dan sering menjadi bahan olok-olok tidak bisa dilepaskan dari perilaku umatnya yang cenderung kontra-produktif bagi terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan.

Umat Islam jangan sampai larut dalam dekapan emosional yang rendah. Daripada seperti itu, sebaiknya melakukan refleksi diri untuk merajut masa depan yang lebih baik. Mereka dituntut untuk membangun peradaban yang mampu berdiri sejajar sekaligus bersanding secara kompetitif dengan peradaban dunia lain.

Jati Diri Rasulullah
Keberhasilan Rasulullah Muhammad Saw. dalam mengantarkan umatnya meraih kejayaan hidup perlu dijadikan rujukan utama. Sejarah menunjukkan, dalam waktu hanya sekitar dua belas tahun, Nabi berhasil mengubah kehidupan sosial masyarakat Arab yang primordial-sektarianistik menjadi masyarakat yang berlandaskan persaudaraan universal dan bermoral perennial. Dari masyarakat yang amat membanggakan garis keturunan (hierarkis) menjadi masyarakat yang egalitarian.

Kenyataan sejarah menunjukkan keberhasilan Nabi itu sejatinya tidak dapat dilepaskan dari keimanan Rasulullah yang bersifat implementatif. Agama diyakini olehnya sebagai sumber nilai etik yang harus diterjemahkan ke dalam realitas. Kesaksiannya tentang Tauhid (monoteisme) mengantarkan beliau kepada penyikapan terhadap seluruh umat manusia sebagai mahluk Tuhan yang esensinya setara yang harus diperlakukan berdasar nilai-nilai kesetaraan itu.

Dengan pola semacam itu pula Rasulullah menyikapi dan melaksanakan ibadah ritualistik yang bersifat sangat personal. Beliau melakukannya sebagai proses dialog intensif dengan Sang Khalik untuk muhasabah dan memperkaya spiritualitas, yang pada gilirannya dikejawantahkan ke ruang publik dalam bentuk pengembangan moralitas sosial yang luhur.

Baginya, Islam harus menjadi nilai-nilai transformatif yang dapat mengantar manusia kepada pencerahan bagi dirinya dan manusia lain. Pencerahan yang harus diusung ke ruang publik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Di sinilah beliau menunjukkan kapsitasnya sebagai insan “rahmatan lil ‘alamin”.

Tidak berlebihan jika Hodgson (1974) menyatakan, Muhammad insisted on the moral responsbility of human being…… The cosmos of the Qur’an was intensely human and even social.

Berdasar ajaran itu, struktur sosial, budaya, politik, dan segala hal dibenahi. Rasulullah bukan hanya berkutat pada tataran wacana, tetapi ia sekaligus terlibat dalam aksi nyata. Gambaran itulah yang dideskripsikan oleh al-Quran bahwa beliau sebagai contoh tauladan yang baik atau uswatun hasanah (QS. 33: 21).

Nabi menjelaskan signifikansi egalitarianisme, keadilan, dan nilai-nilai luhur lainnya, serta pada saat yang sama beliau sendiri merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kesehariannya, termasuk memberlakukannya terhadap diri-sendiri.

Di atas nilai-nilai itulah umat Islam di masa keemasannya (sejak kepemimpinan Rasulullah) membangun peradaban, mengembangkan sains dan teknologi dalam berbagai disiplin yang berorientasi pada kesejahteraan kehidupan.

Di bawah kepemimpinan Rasulullah dan para khalifah awal yang meneruskannya, umat Islam berkembang (relatif untuk ukuran zamannya) sebagai – meminjam istilah Barry Knight et al. (2002) – good society, suatu masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam bidang ekonomi, fisik, dan keamanan, serta dapat mengembangkan asosiasi di antara mereka, dan bisa berpartisipasi aktif dalam mengelola masyarakat secara bersama.

Meneladani Rasulullah
Umat Islam dituntut untuk meneladani Rasulullah melalui pendekatan semiotis-hermeneutik. Mereka sejatinya menguak substansi nilai yang dikembangkan Nabi dan inti tindakan yang dilakukannya. Nilai dan tindakan itu lalu dikontekstualisasikan ke dalam sitiuasi dan kondisi kekinian dengan pola dan bentuk yang bisa berbeda. Pada saat yang sama umat Islam perlu mengembangkan sikap dialogis dan terbuka dengan Barat secara intensif dan tulus, sehingga prakonsepsi dan sikap apriori yang masih ada pada masing-masing dapat dihilangkan, serta kesepahaman dan mutual-respect terbangun dengan kuat.

Dalam kerangka di atas, peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. sejatinya tidak hanya diadakan dan disikapi secara seremonial belaka, yang terus berulang dari tahun ke tahun tanpa berimplikasi pada terjadinya perubahan substansial dalam keberagamaan umat. Umat Islam semestinya menjadikan peringatan Maulid Nabi dan peringatan keagamaan lainnya sebagai wahana reflektif untuk pengayaan spiritual, peningkatan kecerdasan emosional, dan memperbaharui diri secara berkesinambungan.

Edi Junaedi;
Pegawai Ditpenais, Bimas Islam,
Kementerian Agama RI
di kutip dari www.kemenag.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar